Tentang Luka

Dua hari yang lalu saya mengobrol panjang dengan seorang teman lewat chat WhatsApp. Dia bercerita bahwa belum lama ini dia rutin mendatangi seorang psikiater. Melakukan wawancara, menjalani tes, dan serangkaian pemeriksaan sampai pada sebuah diagnosis bahwa dia mengalami BPD.


Sekedar informasi Borderline Personality Disorder (BPD) sering disebut pula sebagai kepribadian ambang. Suatu keadaan psikologis dimana seorang kesulitan mengendalikan emosinya. Menurut beberapa artikel yang saya baca kondisi ini ditandai dengan perubahan mood yang mendadak serta gangguan pola pikir dan persepsi. Beberapa ciri yang dialami oleh teman saya seperti kehilangan kepercayaan dirinya, merasa dirinya sangat buruk dan muncul ketakutan-ketakutan akan diabaikan oleh orang-orang disekitarnya.  Dia juga bercerita sempat mengurung dirinya selama sepuluh hari di kamar karena dia takut akan menerima perlakuan buruk dari keluarga atau temannya. 

Saya menyimak secara seksama penuturan panjang darinya. Mak deg. Begitu yang saya rasakan dalam hati. Saya membayangkan betapa tidak mudahnya hari-hari yang dia lewati dalam beberapa waktu terakhir ini sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui seorang psikiater. 

Setelah menyimak cerita panjang darinya, saya menghela nafas dalam-dalam. Saya sangat tidak menyangka dia akan mengalami permasalahan mental yang seserius ini. Pasalnya, saya mengenal dia sebagai pribadi yang sangat periang, ramah, dan penuh semangat. Setiap kami bertemu dia selalu menghadirkan suasana penuh cinta dan tawa bahagia. Jika dilihat dari luar kehidupannya nyaris sempurna, dia terlahir dan tumbuh di keluarga yang berkecukupan, saya juga mengenal orang tuanya sebagai sosok yang ramah dan menyenangkan, sekarang teman saya ini sudah punya pekerjaan yang mapan dan sudah berkeluarga. Seperti tidak tampak celah yang serius untuk membawanya pada keadaan gangguan mental yang dia alami sekarang. 

Saya memberanikan diri untuk bertanya padanya kemudian, tentang bagaimana psikiater menjelaskan penyebab dari BPD yang dia alami. Dia kemudian menelepon saya, dia bercerita dengan suara yang serak, mungkin dia menahan tangisnya. Dia kemudian bercerita tentang masa kecilnya, menurut penuturannya dulu dia sering menerima perlakuan kasar dari Ibunya, di luar rumah dia juga sering menerima ejekan dari teman-temannya karena dia cukup lambat dalam belajar membaca dan menulis. Masalah lain juga hadir ketika dia masuk di usia remaja. Hampir saja dia menjadi korban pemerkosaan dari saudaranya, dia tidak berani bercerita pada siapapun, dia menyimpan kemarahan dan kesedihannya sendiri bertahun-tahun. Saya hanya diam menyimak, saya merasa tidak berhak berkomentar apapun. 
-----
Kalau boleh saya simpulkan, teman saya ini belum selesai dengan masa lalunya. Dia menyimpan banyak luka yang tidak sempat dia sembuhkan, tapi dia tidak menyadari itu dan terus mengambil peran baru di episode selanjutnya. Beban bertumpuk, mengendapkan emosi buruk. Saya rasa ada cukup banyak kasus semacam ini di luar sana, bahkan pada diri saya sendiri. 

Pengalaman buruk di masa lalu memang tidak dapat dianggap remeh. Karena pengalaman-pengalaman itu juga turut membentuk diri kita saat ini. Jika pengalaman-pengalaman tersebut memberikan dampak yang kurang baik, ya harus diselesaikan. Teman saya ini sedang menempuh jalannya untuk menyelesaikan dirinya dari kenangan buruknya di masa lalu.

Lewat tulisan ini saya ingin mengajak teman-teman untuk sejenak melihat diri sendiri. Masih adakah luka yang butuh untuk diselesaikan? Jika masih, ada baiknya mencoba untuk menyelesaikannya dengan cara yang dirasa paling tepat. Selamat pagi menjelang siang, selamat menjalani hari yang indah. 

Nduk zhee, 11 Juni 2020

Komentar

Postingan Populer