Pandemi dan Rindu

Hari ini Tulungagung masih diselimuti suhu dingin yang cukup menyengat. Menuruti rasa penasaran, saya mencoba mencari tahu berapa suhu saat ini, dan hasilnya cukup membuat saya terbelalak. Ada angka 15° yang terpampang di layar ponsel.

Mengawali pagi di hari kamis ini saya mengetik pesan singkat di WhatsApp, sekedar ingin menyapa Umi di rumah. Bertanya basa-basi apakah beliau sudah sahur dan lauk apa yang tersaji di meja makan. Kegiatan semacam ini saya lakukan hampir setiap hari, terkadang kami terlibat obrolan basa-basi berjam-jam. Dan kegiatan semacam selalu menjadi kesempatan paling membahagiakan bagi saya.

Sekitar 2 bulan saya terpisah jarak dengan beliau. Bukan untuk pertama kalinya memang, tapi masih saja menyimpan rindu yang tak pernah reda. Saya selalu rindu bercakap-cakap dengan beliau, memasak bersama dan bahkan saya rindu diomeli entah karena apapun itu. Mungkin ini yang sering disebut sebagai ikatan batin seorang anak dan ibu. Terlalu indah.

Berbicara tentang rindu pada Ibu, ada sebuah kisah yang cukup menguras emosi dari teman saya. Dia seorang mahasiswa rantau dari provinsi tetangga, dan kebetulan sedang tinggal bersama saya di pesantren. Kemarin kami sempat bercakap-cakap santai, kemudian dia bercerita bahwa ia sangat merindukan kampung halamannya. Mak deg, begitu saya rasa dalam hati. Mengingat bahwa sudah hampir dua tahun dia belum pernah pulang ke rumahnya. Saya yang notabene mudah baper, langsung berkaca-kaca menyimak cerita dari teman saya tersebut. Dan sekali lagi dia membuat saya terkagum-kagum dengan ketegarannya yang bercerita dengan nada yang sangat santai dan ekspresi muka yang tersenyum sempurna. 

Katanya dia sempat berencana puang pada Ramadhan beberapa bulan yang lalu, namun terpaksa batal karena ada pandemi. Ah, lagi-lagi saya menjumpai kisah tentang pandemi dan rindu. Sambil tersenyum yang sedikit dipaksakan saya menjawab, "semoga pandemi ini lekas usai, supaya tidak semakin banyak rindu yang menunggu temu." Kami kemudian sama-sama tertawa dan melanjutkan aktivitas.

Pandemi ini mampir sudah terlalu lama saya rasa. Andaikan dia mau mendengar celoteh saya kali ini, ada beberapa kisah rindu yang ingin saya utarakn padanya.
"Lihatlah, ada sekian banyak anak-anak yang mulai rindu ramainya suasana sekolah dan berisiknya kelas saat dikabarkan ada ujian. Ada sekian teman-teman santri yang belum sempat mencium tangan ayah-ibunya bahkan di hari lebaran. Ada sekian mahasiswa yang mulai rindu nongkrong di bawah pohon rindang ataupun duduk berjajar di ruang seminar. Cepatlah kau kembali pulang, ada rindu yang menunggu sebuah temu."

Komentar

  1. Saya yakin doa ibu yang membuat penulis tetap bersemangat meski rindu yang terpendam di era pandemi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaallah, terimakasih Bu.. kalimat dari Panjenengan benar-benar mengena di hati.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer